Teras Dunia

Manusia hidup karena kasih sayang..tidak ada daya upaya kecuali karena rahmat-Nya. Hidup adalah perjuangan, hidup adalah pelajaran. Maka ingat juga, Rasul menunggu di telaga, adinda menunggu di surga

Tuesday, March 21, 2006

When a Football Player Tackling

Rice dan Kampanye Anti-Hamas
Oleh: Budi Kurniawan Supangat


Rabu ini (lalu-red.) (15/03/06) Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Condoliza Rice, dijadwalkan akan mengunjungi Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Condy, sapaan akrab Rice, juga direncanakan akan mengadakan audiensi dengan beberapa elemen masyarakat diantaranya pejabat pemerintah, pengusaha, dan mahasiswa Indonesia.
Isu terbesar yang diperkirakan akan menjadi pembicaraan nampaknya masih terkait dengan kemenangan Hamas dalam pemilu Palestina baru-baru ini. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk Islam terbesar di dunia di satu sisi dan Cozy sebagai personifikasi kebijakan AS yang menentang kemenangan Hamas di sisi lain merupakan pangkal dari perkiraan ini.

Menurut hemat saya, setidaknya ada dua hal yang akan diperhatikan Rice dalam kunjungannya ke Indonesia kali ini: pertama, bagaimana keberagaman Islam dalam konteks eksklusivitas dan inklusivitasnya di Indonesia memberi pandangan dan selanjutnya bereaksi terhadap kemenangan Hamas di Palestina yang dicap oleh AS dan sekutunya sebagai organisasi teroris, dan kedua, bagaimana membentuk opini bahwa penentangan AS terhadap kemenangan Hamas tetap sejalan dengan konsep demokrasi yang didengung-dengungkan AS.

Hamas: Pahlawan atau Teroris?
Kemenangan Hamas dalam pemilu legislatif Palestina mengundang kontroversi. Bukan karena proses yang dijalani tidak demokratis (pada kenyataannya AS mengakui pemilu tersebut berjalan demokratis), namun karena angin yang dihembuskan oleh negara-negara Barat (AS dan negara-negara Eropa) tidak menghendaki Hamas sebagai pemenang dari pemilu tersebut. Hamas sebagai sebuah faksi perlawanan terhadap pendudukan Israel di Palestina yang selama ini lebih memilih cara-cara tegas di luar politik untuk mencapai tujuan kemerdekaan Palestina mendapat simpati luas dari rakyat Palestina.

Citra yang ditangkap oleh AS dan sekutunya, terutama Israel, menunjukkan kecenderungan yang berbeda. Mereka menganggap tindakan yang dilakukan Hamas selama ini adalah tindakan terorisme, karenanya Hamas dinilai oleh AS dan sekutunya sebagai organisasi teroris.
Di Indonesia sendiri, kemenangan Hamas menjadi perhatian besar oleh sebagian masyarakat, baik yang tergabung dalam kelompok keagamaan maupun kaum akademis. Jika merujuk pada klasifikasi umat Muslim oleh Akbar S. Ahmed dalam bukunya “Islam Sebagai Tertuduh: “Kambing Hitam” di Tengah Kekerasan Global” di mana terdapat kaum eksklusif dan inklusif dalam dunia Islam (Ahmed, 2003: 42), maka saya melihat jikapun ada klasifikasi ini dalam masyarakat Muslim Indonesia, hal ini tidaklah berdampak pada perbedaan tanggapan secara mendasar atas kemenangan Hamas.

Ahmed mengidentifikasi kaum eksklusif sebagai kaum yang menciptakan batas-batas dan percaya pada hirarki, sedangkan kaum inklusif sebagai kaum yang siap mengakomodasi, berinteraksi dengan orang lain, dan bahkan mendengarkan dan membiarkan diri mereka dipengaruhi oleh orang lain (Ahmed, 2003: 42). Dalam masyarakat Muslim Indonesia, pembedaan ini nampak terlalu sederhana, mengingat beragamnya pandangan dan tingkah laku mereka terkait dengan keislaman.

Terdapat beberapa organisasi Islam yang lebih tegas dalam bertindak, dan terkadang cenderung untuk melakukan tindakan di luar mekanisme legal dalam menerapkan batas-batas yang diyakininya. Namun organisasi ini juga tidak menutup diri untuk melakukan pertukaran informasi dalam sebuah dialog, yang sudah barang tentu tidak dimiliki oleh golongan yang disebut Ahmed sebagai golongan eksklusif. Sebaliknya, terdapat pula oraganisasi-organisasi Islam di Indonesia yang cenderung mengutamakan dialog untuk mencapai pemahaman namun juga tetap memegang batas-batas, atau lebih tepatnya prinsip-prinsip yang diyakininya sehingga tidak sampai terpengaruh oleh pihak lain. Ini juga mengindikasikan inklusivitas yang tidak selonggar identifikasi Ahmed.

Secara mendasar, sebagaimana telah saya sebutkan, baik golongan ‘eksklusif’ maupun ‘inklusif’ dalam masyarakat Islam di Indonesia memiliki pandangan yang sama atas kemenangan Hamas, di mana mereka mendukung naiknya Hamas ke dalam struktur pemerintahan Palestina karena selama ini Hamas mampu mencitrakan dirinya di kalangan umat Muslim sebagai sebuah organisasi perlawanan terhadap penjajahan Israel yang betul-betul berpegang teguh pada ajaran Islam. Menurut hemat saya, yang akan berbeda adalah ketika kemengan Hamas ini dihadapkan pada pandangan Barat.

Kaum ‘ekslusif’ sangat menentang anggapan Barat bahwa Hamas adalah organisasi teroris dan meyakini bahwa penentangan Barat terhadap kemenangan Hamas dikarenakan kebencian Barat terhadap faksi perlawanan yang memilih jalan perlawanan senjata ini. Karenanya, tindakan-tindakan kaum ‘eksklusif’ cenderung eksplosif sambil menghubungkannya dengan aksi-aksi anti-Barat, khususnya anti-Amerika. Kaum ‘inklusif’ juga menentang anggapan Barat terhadap Hamas, namun mereka cenderung memilih untuk memperoleh pemahaman mendalam mengenai argumen-argumen yang melatari anggapan AS dan negara-negara Barat lainnya. Untuk mencapai ini, kaum ‘inklusif’ lebih memilih jalan diskusi dan dialog yang relatif panjang dan berliku untuk kemudian diharapkan mampu membentuk kesepahaman yang berarti, yang mampu merubah pandangan Barat.

Kerja Keras Rice
Melihat kecenderungan yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia, nampaknya Rice dalam kunjungannya kali ini harus bekerja sangat keras. Pertama, ia harus membuktikan bahwa pemerintah AS tidak sedang dalam aksi ‘bunuh diri’ dengan menentang pemilu di Palestina. Kedua, ia harus menanamkan pemahaman bahwa Hamas bukanlah pihak yang tepat untuk memenangi pemilu yang telah lalu di tengah masyarakat yang melihat secara positif kemenangan Hamas tesebut.

Sebagaimana dikatakan oleh Atase Kebudayaan Kedutaan Besar Amerika Serikat dalam seminar yang dilakukan dengan mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran, beberapa waktu lalu, Amerika tidak mempermasalahkan proses pemilu yang berlangsung di Palestina. Proses demokratis itu sejalan dengan apa yang selama ini didengung-dengungkan oleh Amerika dan negara-negara Barat lainnya. Rice pun tentu akan mengatakan hal yang tidak jauh berbeda, dan sampai titik ini nampaknya Rice tidak akan mengalami kesulitan.

Hambatan berarti yang akan dihadapi Rice menurut hemat saya adalah ketika ia harus menjelaskan mengapa AS menolak Hamas untuk duduk dalam pemerintahan Palestina. Hal ini disebabkan oleh dua hal: pertama, anggapan AS bahwa Hamas merupakan organisasi teroris haruslah disertai dengan argumen yang meyakinkan, mengingat Hamas secara luas dalam kalangan umat Muslim dinilai sebagai pejuang yang jauh dari kesan teroris, dan kedua, kemenangan Hamas menunjukkan pilihan sebagian besar rakyat Palestina mengenai siapa dan bagaimana pemerintahan harus dijalankan.

Hingga saat ini parameter yang digunakan AS dalam menjustifikasi Hamas sebagai organisasi teroris hanya berasal dari sudut pandang AS sendiri. Tantangan bagi Rice adalah bagaimana ia harus menghadapi kenyataan eksistensi sudut pandang lain terhadap Hamas yang menjadi pandangan umum masyarakat Muslim Indonesia. Keberhasilan Rice dalam menjawab tantangan ini bergantung pada kemampuannya menyusun argumen menurut alur logika yang tepat dan dapat diterima mayoritas masyarakat.

Bagaimanapun, kemenangan Hamas menunjukkan bahwa rakyat Palestina mendukung aktivitas Hamas selama ini. Menentang Hamas sebagai pemenang pemilu berarti menentang pilihan yang telah dibuat oleh rakyat Palestina. Meskipun AS telah menegaskan bahwa dirinya tidak menganggap proses pemilu Palestina yang lalu sebagai proses yang tidak demokratis, namun dengan menolak pilihan rakyat Palestina, itu sama saja berarti menolak demokrasi yang telah dijalankan. Salah satu poin dari demokrasi di Palestina itu sendiri adalah memberikan kebebasan kepada rakyat Palestina untuk menentukan siapa yang berhak menjalankan pemerintahan dan bagaimana seharusnya pemerintahan itu dijalankan. Dari sini, tantangan bagi Rice adalah menjelaskan pada publik di Indonesia bahwa AS tetap mendukung proses demokratis di Palestina dan tidak mengingkarinya dengan menganggap rakyat Palestina sebagai pendukung teroris.

Saatnya ‘Dialog Antarperadaban’
Apa yang saya lihat dalam diskusi ini adalah adanya pertentangan yang berakar dari –jika saya boleh meminjam istilah Samuel Huntington– benturan peradaban antara Barat dan Islam. Namun sebagaimana optimisme Ahmed, pertentangan peradaban itu bukan tidak mungkin untuk dijembatani. Ia mengajukan sebuah mekanisme yang dinamakan dialog antarperadaban (Ahmed, 2003: 263). Kesempatan kunjungan Rice ke Indonesia hendaknya, walau tidak mewakili secara keseluruhan dari masing-masing dua peradaban, dapat menjadi prototip dari dialog yang dimaksud.

Bagi Rice, ini bisa menjadi kesempatan untuk menjelaskan secara langsung, utamanya kepada umat Muslim di Indonesia, mengenai pandangan-pandangan AS yang bertentangan dengan pandangan umum umat Islam terkait dengan kemenangan Hamas dalam pemilu di Palestina beberapa waktu lalu. Kesempatan ini juga dapat dimanfaatkan umat Islam di Indonesia untuk ‘mengkomunikasikan’ pandangannya kepada AS. Di sini posisi organisasi-organisasi Islam dan kaum akademis menjadi penting. Mereka yang tergabung dalam organisasi-organisasi Islam dapat membuka dialog melalui sebuah diskusi dengan Menlu Rice atau, setidaknya, membentuk kesan konstruktif dengan tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat memperburuk citra Islam. Bagi kaum akademis khususnya para mahasiswa yang dijadwalkan akan melakukan audiensi dengan Rice dapat memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menyampaikan pandangan-pandangannya melalui argumentasi yang meyakinkan sekaligus menggali lebih dalam alur argumentasi pandangan AS dari Rice.

Dengan demikian diharapkan kedua belah pihak, AS dan masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim, memiliki pemahaman mendalam mengenai pandangan masing-masing pihak. Selanjutnya, melalui pemahaman tersebut akan muncul landasan pemikiran bagi semua pihak untuk memilih pandangan dan tindakan yang harus dilakukan ke depan. Sebagaimana ucapan Benjamin Franklin, “Kebocoran kecil dapat menenggelamkan kapal yang besar”. Jangan sampai hanya karena ketidakpahaman memperlebar pertentangan anggapan dalam melihat kemenangan Hamas di Palestina.
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran.