Teras Dunia

Manusia hidup karena kasih sayang..tidak ada daya upaya kecuali karena rahmat-Nya. Hidup adalah perjuangan, hidup adalah pelajaran. Maka ingat juga, Rasul menunggu di telaga, adinda menunggu di surga

Saturday, January 28, 2006

Karena Mata dan Hati Kita Hendaknya Suci





Tiap goresan di hati mereka tidaklah hendak menjadi dendam, tapi kekuatan yang tak terperi besarnya..Maka jika saatnya telah tiba, hati yang keras hanya akan menjadi debu-debu yang beterbangan.

Sunday, January 15, 2006

Satu Lagi



Foto rame-rame teman-teman IRISH dan teman-teman dari Malaysia. Hayo tebak, mana yg budi????

tebak gambar!

Siapakah yang berbaju pink, berdiri, berkerudung putih?

Dapatkan hadiah spesial...

Tebak ya!!

.:Budi:.

Tari Bali: Masih IRISH

Yuniiii...mau nari Bali, eh nari tarian Bali. Bagus kan bajunya? Yiks, its Indonesia..!
.:Budi:.(bareng Taufik)

Yup! Ini Fotonya...

Teman-teman dari Fakultas Kedokteran Gigi (FKG), pengisi di acara launching IRISH.
(Malaysie...niy)
.:Budi:.

Saturday, January 14, 2006

Serunya Launching!

Maaf ya, sebenarnya pingin masukin gambar juga, gambar launching, tapi lagi ada somethin error. Doakan ya, moga nanti bisa...

.:Budi:.

Indahnya Persahabatan

Beberapa bulan yang lalu teman-teman Hubungan Internasional (HI) Universitas Padjadjaran (Unpad) mengadakan launching sebuah klub bahasa Inggris bernama IRISH (International Relations in English) yang diperuntukan bagi mahasiswa HI Unpad dari segala angkatan (2000 ke atas??). Launcing tersebut bertajuk Cross Culture, sebuah variasi apik antara perhatian internasional dengan jalinan persahabatan melalui komunikasi dengan bahasa Inggris. Hadir dalam acara tersebut Pembantu Dekan III Fakultas Ilmu Sosial danIlmu Politik (FISIP) Unpad, Bpk. Ade Makmur K. Drs., M.Phil. dan ketua Himpunan Mahasiswa HI, Sari Handayani. Sayang sekretaris jurusan HI, bapak Yanuar Ikbar belum berkesempatan untuk hadir.

Acara tersebut, sebagaimana tema yang diangkat, mencoba menghadirkan dua kebudayaan dari dua negara berbeda, Indonesia-Malaysia, yang meski beda namun banyak dibilang masih satu rumpun. Perkenalan IRISH beserta segala visi-misinya tentu menjadi poin utama dalam acara ini.

Lewat blog ini saya ingin mengucapkan banyak terima kasih pada semua pihak yang telah membantu terselenggaranya acara ini.

Buat yang mau menghubungi IRISH bisa lewat:
Budi Kurniawan Supangat
Department of International Relations
Faculty of Social and Political Sciences
Padjadjaran University
Jl. Raya Bandung-Sumedang Km. 21
Jatinangor, Sumedang
West Java
Indonesia
e-mail: rasyid_1@eramuslim.com
ph. : +62 813 2567 1218

Kasih Sayang Sepanjang Zaman

Besarnya pengorbanan ibu sedari mengandung hingga membesarkan kita tak terbantahkan lagi. Segenap cinta dicurahkan demi menumbuhkan anak dalam kondisi yang terbaik; penuh rasa aman, pendidikan yang baik, serta pemenuhan segala kebutuhan yang diperlukan sang anak.
Pun dengan ayah, yang rela bekerja membanting tulang demi melihat anaknya tersenyum dengan pakaian barunya -walau tidak semewah pakaian anak lain-, tertawa riang membawa boneka yang terbuat dari kain dan berisi kapuk, dan tertidur pulas walau hanya beralaskan tikar yang ditutup kain.
Di luar itu, ada banyak saudara-saudara kita yang begitu sering memberikan bantuan tanpa diminta, mengingatkan kala kita mulai menyentuh mulut jurang, menghibur saat hujan lebat mengguyur tiap sudut hati kita.
Semua terasa begitu menyayangi kita. Semua begitu memperhatikan kita. Namun bila kita coba telusuri, betapa ini semua merupakan bentuk kasih sayang tiada tara dari Yang Maha memiliki cinta. Allah SWT, yang telah menciptakan ibu terbaik bagi kita, ayah yang senantiasa melindungi, dan saudara-saudara di sekeliling kita yang selalu memberikan sesuatu penuh makna bagi kita.
Allah lah yang menganugerahkan itu semua kepada kita. Bahkan Dia lah yang menciptakan kasih dan cinta. Maka mengapa kita masih ragu bahwa kasih dan cinta Allah senantiasa mengiring langkah kita? Bukankah seorang ibu yang kasarpun menjadi jalan bagi kita untuk selalu bersabar? Bukankah ayah yang pergi ketika kita masih sangat membutuhkannya mengajarkan kita untuk selalu tegar? Bukankah saudara-saudara di luar sana yang tak jarang menampakkan muka masam bisa menjadi ladang amal buat kita?
Setiap saat, kapanpun, dimanapun, kasih sayang Allah selalu hadir. Sayang, tak semua dari kita mampu merasakannya sebagai kasih sayang yang begitu dahsyat. Bahkan tidak jarang, ada yang menyalahgunakan kasih dan cinta Allah. Allah melimpahkan rizki, sebagian orang malah senang berjudi. Allah karuniakan otak yang cerdas, malah menjadikan kesombongan seseorang jauh melebihi tingginya gedung-gedung pencakar langit yang mereka buat. Allah jadikan wanita indah bagi pria, pria indah bagi wanita, sebagian manusia malah menjadikannya alasan untuk merendahkan diri masing-masing dengan melakukan perbuatan yang tidak diridhoi Allah SWT. Dan yang teramat parah, Allah karuniakan orang tua yang begitu menyayangi kita, sebagian kita malah melukai hati mereka dengan kedurhakaan. Naudzubillah! Naudzubillahi mindzalik!
Kini saatnya, mumpung cinta Allah masih besama kita. Ya, waktu, waktu adalah satu dari sekian banyak cinta Allah untuk kita. Mumpung masih ada waktu untuk memperbaiki diri, untuk mengejar rizki yang halal, untuk menebar amal di manapun dan kapanpun, untuk mempersembahkan bakti yang terindah untuk kedua orang tua kita. Detik ini juga, saatnya bagi kita untuk mengatakan dengan mulut, hati, dan tangan kita, “Allah Yang Maha Indah, aku merasakan cinta yang dahsyat ini. Izinkan aku membalasnya dengan cinta yang indah pula”.

Saling mengingatkan yuk!
.:Budi:.
comment ya...

Tuesday, January 10, 2006

Learning from the expert


Foto ini diambil setelah acara kuliah umum Hubungan Internasional Kawasan dengan tema "Hubungan Taiwan - Indonesia dan Peranan Taiwan di Kawasan Asia Pasifik"

Tampak dalam gambar: Budi Kurniawan Supangat (mahasiswa HI Unpad 2004), Bapak Yanuar Ikbar (Sekretaris Jurusan HI Unpad), Mr. David Lin (Ketua Taipei Economic and Trade Office), dan Mr. Chang Pong (Humas Taipei Economic and Trade Office)

Terlihat juga beberapa teman-teman peserta kuliah umum. Sayang acara ini tidak bisa dihadiri secara langsung oleh Bapak Hamdhany sebagai dosen pembimbing mata kuliah HI Kawasan karena beliau sedang sakit.

Ayo! Terus belajar...(Mr. Lin hebat lho!)
.:Budi:.

Monday, January 09, 2006

Rehat...

Mari Kembali Merenungi

HENING


Kalau biru itu sunyi
Maka senyap berlari

Kalau cinta itu biru
Pasir pun tak mampu membuatnya kelabu

Karena cinta tertinggi yang tumbuh
Maka akan kusuburkan dengan hujan rimbun rimba

Dalam hening detik yang khusyu
Perlahan membuka pintu-pintu kegelisahan
Pecah, satu titik bening menetes
Ampuni aku ya Rabb…


Jakarta 2004












Syukur

Tapak ini berpijak di tepi rimba
Mereka di tepi senapan

Mata ini terbuka di ujung senja
Mereka di ujung baja

Aku diikuti derai
Derai mereka semangat yang membara

Aku rindu derai cinta
Mereka mulia karena cinta

Cintaku cintanya
Aku ingin
pena ini senapan baginya
yang akan menggoreskan
kalimat cinta…


Jakarta 2004









Episode Nur Jauh

Malam tetap biasa
Dingin akrab selimuti kalbu senyap
Rindu sangat senyum tipis atau tebal

Bis, kereta, jalanan pikuk
Matahari larikan telapak kosong

Lembar-lembar cita dan mati
Kusam lalu tetap berteriak
batu

Malam tetap biasa
Dan redup berpendar nyaris tanpa bayang
Meringkuk di pojok kebisingan
Pahit

Dan malam tetap biasa
Dendang cinta

Tegal, 14 Juni 2004

Menilik Demokrasi Filipina dan Budaya Komunitarian Singapura: Sebuah Pertanyaan Mendasar Bagi Caoili

Pendahuluan
Teori mengatakan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara demokrasi dan pembangunan ekonomi. Ukuran dasar demokrasi, seperti partisipasi warga negara, kompetisi dalam pemilihan, dan kemerdekaan sipil,[1] ditengarai mendukung peningkatan pembangunan ekonomi suatu negara. Sebaliknya, pelaksanaan demokrasi kian mantap manakala ekonomi terus berada pada kondisi yang positif. Namun fakta menunjukkan hal yang berbeda; Rachel Caoili menulis bahwa Filipina sebagai negara pengadopsi nilai-nilai demokrasi liberal Amerika Serikat ternyata tidaklah memiliki tingkat ekonomi yang bisa menggolongkannya kepada negara maju, sedangkan Singapura yang berbasis pada budaya komunitarian memiliki perekonomian mengagumkan yang menjadikannya salah satu negara maju di dunia. Karena inilah Caoili berusaha untuk mengulik hubungan antara demokrasi dan pembangunan ekonomi yang didasarkan pada keyakinan bahwa ada faktor yang lebih berpengaruh terhadap keduanya.
Tulisan ini dimaksudkan sebagai review atas argumentasi Caoili mengenai fenomena yang terjadi di atas. Sebagaimana secara implisit digambarkan oleh Caoili, pembahasan berkisar pada rentang waktu antara tahun 1997 hingga sekarang ini (2005), di mana pada masa ini kedua negara telah memperoleh kedaulatan masing-masing dan menjalankan proses politik dan ekonominya, namun tidak menutup kemungkinan penulis menyertakan gambaran kondisi sebelum rentang masa itu sebagai dasar argumen yang akan penulis ajukan. Filipina dan Singapura tetap menjadi aktor utama, sedangkan keterlibatan negara lain hanya merupakan bagian penjelasan. Review akan penulis fokuskan pada dasar argumen Caoili mengenai bentuk-bentuk budaya politik kedua negara dan pengujian pada bagaimana good governance menjadi hal yang terpisah dari budaya politik kedua negara terkait dengan pembangunan ekonomi.

Hubungan Antara Demokrasi dan Pembangunan Ekonomi
Dalam menjelaskan hubungan antara demokrasi dan pembangunan, sebagaimana dikutip oleh Caoili, Herbert Werlin menekankan dua pertanyaan: Apakah pembangunan ekonomi yang penting bagi demokrasi ataukah sebaliknya?; dan Apakah demokrasi liberal hanyalah satu-satunya bentuk demokrasi yang bisa diterima?[2]
Menurut penulis, jawaban antara pertanyaan pertama dengan pertanyaan kedua terdapat pertalian. Demokrasi secara konseptual akan medorong terbentuknya pasar bebas dan desentralisasi kekuasaan politik. Pasar bebas bersama dengan desentralisasi politik yang membawa pada keyakinan produsen, inisiatif, investasi, dan pertumbuhan ini kemudian mendorong pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain Rustow mengatakan bahwa, “Semakin makmur suatu bangsa, semakin besarlah kemungkinan bangsa itu untuk menopang demokrasi”.[3] Postulasi Rustow ini mendapat dukungan dari data yang diperoleh melalui penggolongan negara-negara oleh Bank Dunia berdasarkan perkembangan ekonomi dengan penggolongan Freedom House berdasarkan kemerdekaan. Data menunjukkan bahwa dua dari 36 negara berpendapatan rendah digolongkan sebagai negara “bebas” atau demokratis, 14 dari 60 negara berpendapatan menengah digolongkan demokratis, dan 18 dari 24 negara ekonomi industri digolongkan demokratis.[4]
Dari sini penulis berpendapat bahwa hubungan antara demokrasi dan pembangunan ekonomi berada pada level yang sederajat, di mana yang satu tidak dominan terhadap yang lain, tidak seperti apa yang disinyalkan oleh Caoili, bahwa pembangunan ekonomi lebih esensial bagi demokrasi ketimbang demokrasi bagi pembangunan ekonomi.
Sebagaimana telah diidentifikasi oleh Caoili, permasalahan muncul ketika demokrasi tidak dijalankan sebagaimana seharusnya. Individualisme sebagai nilai demokrasi barat memang tidak sebaik komunitarian dalam hal orientasi objek kemajuan di mana komunitarian lebih mengutamakan kepentingan komunitas atau suatu masyarakat tertentu daripada kepentingan pribadi. Terkait dengan hal ini, kelemahan individualisme membawa konsekuensi yang lebih jauh yaitu munculnya self-serving di antara para elit. Self-serving kini kemudian menyebabkan munculnya penyimpangan seperti korupsi. Setidaknya konsekuensi yang muncul adalah tersubordinatkannya demokrasi bagi pembangunan ekonomi. Dampaknya, demokrasi dalam lingkungan komunitarian dinilai lebih mampu membawa peran yang lebih besar bagi pembangunan ekonomi yang membuatnya bisa diterima sebagai bentuk demokrasi.
Namun tidak menutup kemungkinan bahwa demokrasi dan pembangunan ekonomi muncul sebagai akibat yang ditimbulkan oleh satu faktor yang sama, seperti misalnya protestantisme berperan dalam mendorong lahirnya kapitalisme, perkembangan ekonomi, dan demokrasi.[5] Antara keduanya tidak terdapat hubungan yang saling mempengaruhi, melainkan muncul sebagai akibat dari faktor ketiga. Jika melihat variasi bentuk hubungan ini, nampaknya akan lebih tepat jika pembahasan hubungan antara demokrasi dan pembangunan ekonomi disesuaikan dengan konteks yang sedang dibicarakan.

Demokrasi Liberal Filipina
Landasan dasar Caoili dalam membandingkan Filipina dengan Singapura adalah asumsi bahwa Filipina merupakan negara demokrasi liberal berplatform demokrasi AS dengan tingkat perekonomian negara berkembang dan Singapura sebagai industri maju dengan budaya komunitarian. Yang perlu dipertanyakan lebih awal, dan ini sangat mendasar: Bagaimanakah Caoili melakukan penggolongan tersebut, utamanya ketika mengatakan budaya politik kedua negara yang berbeda?
Filipina disebut sebagai negara demokrasi liberal yang mengadopsi langsung demokrasi Amerika Serikat. Sayangnya dalam pemaparan Caoili, pembuktian mengenai pernyataan ini tidaklah dilakukan secara memadai. Apa yang menurut penulis hendaknya dilakukan Caoili adalah menguji budaya politik Filipina dengan membandingkannya budaya politik Amerika Serikat sendiri.
Menurut Gabriel Almond, budaya politik merupakan orientasi politik atau sikap-sikap yang dipegang oleh individu-individu dalam berhubungan dengan sistem politiknya. Orientasi ini mengandung tiga aspek: kognitif seperti keyakinan dan pengetahuan, afektif berupa perasaan, dan evaluatif berupa opini tentang sistem dan penerapan nilai-nilai. Dari tiga orientasi ini diperoleh tiga tipe budaya politik:
Parokial, dicirikan dengan rendahnya pengetahuan dan kesadaran politik.
Subjek, dicirikan kepatuhan pada pejabat-pejabat pemerintahan dan hukum yang berlaku.
Partisipan, dicirikan dengan tingginya pengetahuan dan kesadaran politik.[6]

Yang perlu dilakukan oleh Caoili adalah menguji terlebih dahulu tipe budaya politik Filipina apakah menunjukkan hal yang sama dengan tipe budaya politik Amerika Serikat. Ini penting sebab tipe budaya politik sangat mempengaruhi kualitas demokrasi suatu negara, yang pada kasus ini menjadi dasar penyamaan demokrasi Filipina dengan demokrasi yang dijalankan Amerika Serikat.
Secara kasat mata tingkat kemakmuran Amerika yang lebih tinggi ketimbang Filipina memungkinkan pepindahan informasi politik yang lebih baik. Didukung dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, budaya politik AS didominasi oleh budaya partisipan dan subjek, sedangkan Filipina lebih didominasi budaya subjek dan parokial. Ini menjadikan tingkat demokrasi Filipina belum mencapai apa yang telah terjadi pada AS. Akibatnya, akan cukup sulit untuk membuktikan bahwa Filipina benar-benar mengadopsi demokrasi liberal AS dan karenanya bisa disamakan.

Budaya Komunitarian Singapura
Budaya komunitarian di Singapura dijelaskan Caoili sebagai sebuah orientasi dan sikap hidup masyarakat Singapura yang mengedepankan moralitas dalam segala sendi kehidupan, termasuk pemerintahan. Ikatan emosional sangat diperhatikan ketimbang hubungan yang hanya didasarkan pada kepentingan individu belaka. Kepentingan bersama berada di atas kepentingan pribadi. Budaya komunitarian Singapura, lebih lanjut menurut Caoili, didasarkan pada nilai-nilai Konfusian. Dalam Konfusian setidaknya ditekankan tiga poin utama: pemerintahan yang bermoral, hubungan hirarkis yang harmonis antara masyarakat dengan pemerintah, dan ikatan emosional yang tidak memberi peluang adanya sikap individualistik.
Konfusian sebagaimana kita kenal, merupakan nilai yang berasal dari Cina dan kemudian berkembang dalam kehidupan masyarakat beberapa negara di Asia Timur seperti Taiwan dan Jepang. Di sini penulis sedikit menyesalkan kealpaan Caoili (kecuali memang direncanakan) menjelaskan keterkaitan Singapura-Cina utamanya dalam konteks sejarah masyarakatnya. Ini penting sebagai dasar argumen anggapan Caoili bahwa budaya komunitarian Singapura dibentuk dari nilai-nilai Konfusian. Penulis meyakini bahwa selain di Singapura, di belahan bumi lain, termasuk di Indonesia walau tidak berjalan sebagaimana mestinya, juga terdapat nilai-nilai demikian, namun mengapa Konfusian yang kemudian diyakini Caoili mendasari komunitarian Singapura? Hal ini membuat penulis mencoba untuk meraba-raba; persentase masyarakat Cina (baik pendatang maupun keturunan) di Singapura sangat besar. Ketidakjelasan Caoili berakibat pada munculnya banyak pertanyaan, sebagaimana akan muncul rentetan tanda tanya, jika memang rabaan penulis benar, “Bagaimana pengaruh nilai yang dibawa masyarakat Melayu Singapura?”, “Bagaimana tanggapan Konfusian vis-á-vis nilai yang dibawa bangsa Melayu?”, “Apa pengaruh nilai bangsa Melayu terhadap budaya komunitarian Singapura?”, dan seterusnya. Kalau penulis boleh berprasangka, keengganan Caoili menyentuh aspek sejarah masyarakat Singapura dikarenakan kekhawatirannya akan ketidakrelevanan fakta dengan prediksinya: Singapura merupakan negara bekas jajahan Inggris, yaitu negara demokrasi barat yang esensinya sama dengan demokrasi Amerika Serikat: kebebasan individu yang mendorong individualistik. Itu berarti Caoili tidak mengangkat hal yang sederajat untuk diperbandingkan, alias bukanlah perbandingan politik yang benar, di mana ia mengangkat aspek sejarah bercokolnya Amerika Serikat di Filipina namun tidak untuk kasus penjajahan Inggris, yang telah membentuk pengaruh kuat, di Singapura.
Selanjutnya penulis mencoba menguji pengkontrasan yang dilakukan Caoili terhadap demokrasi liberal dengan budaya komunitarian. Digambarkan dalam artikel tersebut seolah nilai komunitarian di Singapura sesuatu asing yang tak pernah bersentuhan sebelumnya dengan apa yang dinamakan demokrasi. Pertanyaannya, apakah demokrasi merupakan sesuatu yang berdiri sendiri atau ia, dengan serta merta, harus menggandeng label liberal?
Sebagaimana dinyatakan Andrew Heywood dalam buku Politics, demokrasi merupakan pemerintahan rakyat; demokrasi mengimplikasikan baik partisipasi populer maupun pemerintahan berdasarkan kepentingan publik, dan dapat mengambil variasi bentuk yang luas.[7] Sejalan dengan itu, Caoili menyebutkan bahwa demokrasi memiliki tiga hal: kompetisi luas yang berarti antara individu dan kelompok untuk posisi pemerintahan yang efektif, pada selang waktu yang tetap, dan tanpa penggunaan kekuatan; level inklusif dari partisipasi politik yang tinggi dalam memilih pemimpin dan kebijakan; dan suatu tingkat kebebasan sipil dan politik untuk memastikan integritas dari kompetisi politik dan partisipasi – kebebasan berekspresi, kebebasan media, kebebasan untuk membentuk dan bergabung dalam organisasi.[8] Di sisi lain budaya komunitarian mendorong terbentuknya masyarakat berorientasi sosial dan bukan individual.
Partisipasi warga negara dalam politik khususnya pemerintahan di Singapura dinilai baik, nampak dengan adanya organisasi kepartaian seperti People’s Action Party (PAP) dan pemilihan umum. Hingga tahun 1994 tercatat setidaknya 23 partai politik yang (pernah) ada di Singapura.[9] Dalam pemilihan tersebut juga terdapat persaingan antar partai yang memperlihatkan kemantapan demokrasi. Kebebasan sipil juga dijunjung melalui bentuk-bentuk masyarakat demokratis seperti kebebasan dalam membentuk partai, turut dalam pemilihan, berperan dalam pemerintahan, dan menyampaikan pendapat baik langsung maupun tak langsung. Tentunya kesemuanya dilakukan dalam kerangka hukum yang berlaku di Singapura.
Budaya komunitarian dalam hal ini berperan sebagai orientasi dari demokrasi yang dijalankan, dan karenanya berpengaruh terhadap bagaimana demokrasi itu sendiri berjalan. Pemilihan umum, persaingan dalam pemilihan, dan partisipasi warga negara ditujukan untuk mencapai kepentingan bersama, dan karenanya hasil dari bentuk-bentuk partisipasi tersebut, termasuk pemerintahan yang muncul, bekerja dalam kerangka mewujudkan kepentingan bersama.
Kiranya dari sini kita sudah dapat melihat stand dari demokrasi dan komunitarian. Demokrasi merupakan budaya politik yang berjalan, sedangkan komunitarian merupakan guidline bagi perjalanan demokrasi tersebut. Ini berarti satu hal: gambaran bertentangan yang dimunculkan Caoili sebenarnya bukanlah pertentangan antara demokrasi liberal di satu sisi dan budaya komunitarian di sisi lain, melainkan antara dua bentuk demokrasi, yang satu liberal dan yang lain adalah komunitarian.

Good governance: Faktor Ketiga yang Terpisahkan?
Pada akhirnya Caoili seperti hendak mengatakan bahwa bukanlah demokrasi yang terpenting ataupun pembangunan ekonomi, karena keduanya, demokrasi ideal dan pembangunan ekonomi ditentukan oleh adanya good governance. Good governance yang penulis artikan sebagai penataan yang baik menuntut adanya orang-orang yang tepat dalam jabatan-jabatan setiap lembaga negara. Orang-orang tersebut harus memiliki kapabilitas dalam bidangnya masing-masing dan secara umum keinginan dan kesadaran untuk membangun bangsa.
Good governance akan terbentuk jika:
masyarakat dan pemerintah memiliki kesadaran akan kepentingan bersama, meskipun tiap-tiap orang memiliki kepentingan masing-masing.
pemerintahan terdiri dari orang-orang yang kompeten.
dukungan warga negara yang luas terhadap pemerintahnya.
Penulis melihat bahwa ketiga hal di atas akan terbentuk oleh sebuah budaya yang mengangkat moral dan keterikatan emosional baik di dalam pemerintah, masyarakat, maupun hubungan antara keduanya. Budaya yang menyadari bahwa pencapaian kepentingan bersama memberikan dampak positif bagi kepentingan pribadi. Moral akan menjadi tameng bagi para elit untuk melawan godaan-godaan penyimpangan seperti korupsi. Ikatan emosional akan menjadi dasar bagi kesediaan masyarakat mengangkat kepentingan bersama di atas kepentingan pribadinya. Dan ini semua terkandung dalam budaya komunitarian yang berkembang di Singapura dan sangat sulit untuk mengatakan bahwa ini terjadi di Filipina.
Sekilas nampak terdapat keterhubungan antara budaya politik dengan good governance. Namun jika ditelusuri lebih dalam, good governance tidaklah bergantung pada budaya politik yang ada, melainkan ada satu hal yang menjadi inti dari tercapainya keteraturan itu, yaitu willingness dari tiap pihak untuk mewujudkan kesemuanya itu, termasuk political will yang baik dalam pemerintah dan juga masyarakat. Karenanya bukan tidak mungkin good governance terjadi di Filipina.

Kesimpulan
Perbandingan yang dilakukan Caoili terhadap dua negara Filipina dan Singapura mencoba menghadirkan pembahasan mengenai hubungan antara demokrasi dengan pembangunan ekonomi. Filipina mewakili negara demokrasi liberal, sedangkan Singapura diposisikan sebagai negara berbudaya komunitarian. Penjelasan Caoili mengenai di mana demokrasi berdiri malah menghantarkan pada argumen bahwa sebenarnya bukan demokrasi liberal di satu pihak dan komunitarian di pihak lain yang diperbandingkan, namun lebih pada membandingkan antara demokrasi liberal dan demokrasi komunitarian. Kelemahan Caoili lainnya adalah pada rasionalisasi asumsi demokrasi liberal yang diterapkan di Filipina sebagai hasil adopsi dari demokrasi liberal Amerika Serikat, yang dilakukannya tanpa memandang bagaimana demokrasi di kedua negara dijalankan.
Pembangunan ekonomi Singapura yang lebih baik ketimbang Filipina menjadi isu utama dalam artikel Caoili; Apakah demokrasi dan pembangunan ekonomi saling berhubungan? Penulis menemukan bahwa hubungan antara keduanya bisa saja terjadi meskipun tidak secara otomatis yang satu akan memunculkan yang lain. Bagi Caoili sendiri pembangunan ekonomi lebih berperan dalam eksistensi demokrasi daripada sebaliknya. Demokrasi akan mendukung pembangunan ekonomi ketika ia dijalankan dalam suatu negara yang memiliki good governance. Bagi penulis, good governance tidak akan terwujud tanpa adanya good will, baik dalam pemerintahan maupun warga negara.
Akhirnya, penulis berkesimpulan bahwa sangat menarik untuk menguak hubungan demokrasi dan pembangunan ekonomi terutama dengan menghadirkan dua negara yang mewakili dua pihak berlawanan yang bisa diperbandingkan. Sayangnya, dasar yang tidak kuat terhadap isu yang diangkat membuat artikel Caoili ini menuai banyak pertanyaan.
[1] Tiga ukuran dasar demokrasi bersumber dari Rachel Caoili, 2004-2005, “Reflections on Democracy and Development in Southeast Asia: Why do The Philippines and Singapore differ?”, dalam The Culture Mandala, Vol. 6 No. 2, hlm. 1.
[2] Ibid.
[3] Roy C. Macridis dan Bernard E. Brown, 1996, Perbandingan Politik. Catatan dan Bacaan, edisi keenam, Jakarta: Erlangga, diambil dari Seymour Martin Lipset, 1959, “Some social Requisites of Democracy: Economic Development and Political Legitimacy” dalam American Political Science Review, hlm. 75.
[4] Ibid, diambil dari Bank Dunia, 1981, World Development Report 1981, New York: Oxford University Press, hlm. 134-35; dan Freedom at Issue, No. 64, 1982, hlm. 8-9. Lihat juga pembaharuan Seymour Martin Lipset terhadap analisis sebelumnya dalam Seymour Martin Lipset, 1981, Political Man: The Social Bases of Politics, edisi kedua, Baltimore: The Johns Hopkins University Press, hlm. 469-76.
[5] Ibid.
[6] Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews, 2000, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm. 42.
[7] Andrew Heywood, 1997, Politics, Houndmills, Basingstoke, Hampshire, London: MacMillan Press, Ltd., hlm. 404.
[8] Rachel Caoili, op. cit., hlm. 6.
[9] Ministry of Information and the Art, 1996, Singapore Facts and Pictures 1996, Singapore, hlm. 19.

Salam dan Selamat Datang

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Malam ini gema takbir menemani saya merangkai blog ini. Esok hari raya Idul Adha 1426 H. Subhanallah! Semua terasa menyeruakan kesejukan...

Blog ini hadir tidak saja sebagai tempat saya mengalirkan muatan-muatan yang seperti hendak keluar dari tempurung otak, namun juga wilayah bagi saya dan teman-teman semua untuk bersama-sama belajar dan berdiskusi tentang hubungan internasional baik dalam ranah studi maupun fenomena-fenomena yang terjadi.

Karenanya blog ini tidak akan berasa keberadaannya jika teman-teman tidak mulai menggerakkan jari-jari untuk mengirimkan komentar tentang berbagai hal yang muncul di blog ini.

Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakauh